Kisah ini merupakan kisah pribadi yang dialami langsung oleh Bp Agus Daisuke selaku Owner Picasso Carpets dan Ibu Putri selaku istri Bp Agus dan owner Picasso Bedding, selama menjadi relawan dalam membantu korban Tsunami di Pantai Carita Anyer pada tanggal 30 Desember 2018 hingga Januari 2019 lalu.
Pada awalnya, Bp Agus dan Ibu Putri yang sebelum tsunami tersebut terjadi tengah dalam rencana merayakan tahun baru namun belum menemukan acara dan lokasi yang pas, ke luar negeri sudah sering, ke tempat-tempat lainpun dirasa kurang menarik.
MENUJU LOKASI
Saat mendengat kabar adanya bencana tsunami menimpa selat Sunda yang begitu menyentak, Ibu Putri dan Pak Agus dan beberapa tim Berbagi Nasi, akhirnya memutuskan menghabiskan waktu liburan tahun baru untuk berpartisipasi menjadi relawan untuk korban bencana tsunami di pantai Carita Anyer. Sempat minder dan takut merepotkan relawan lain karena sebelumnya tak pernah memiliki pengalaman menjadi relawan namun saat tiba di lokasi, Alhamdulillah disambut dengan baik oleh relawan lain.
Akses menuju lokasi pengungsian terbilang cukup menantang karena di daerah dataran tinggi yang sulit dicapai dengan kendaraan dengan lebar jalan yang sempit dan berlumpur sehingga harus beberapa kali turun kendaraan dan jalan kaki bahkan sempat alas kaki hampir hilang saat dicuci di pematang sawah karena saking kotornya terkena lumpur hingga memutuskan berjalan ke lokasi berkilo-kilo meter dengan bertelanjang kaki.
FOKUS PADA DAPUR DARURAT MEMASAK BERSAMA PARA CHEF UNTUK KORBAN DAN RELAWAN
Setibanya di lokasi, bersama tim Unit Normalisasi Darurat Bencana atau dikenal dengan tim UNDB yang diketuai oleh Chef Deden, Pak Agus dan Ibu Putri lebih fokus untuk membantu menyiapkan kebutuhan konsumsi para korban. Ternyata di dapur darurat ini kondisinya sangat kompleks, imej dapur darurat bencana selama ini sering disepelekan bahkan sering tidak dirasakan keberadaannya sebenarnya justru perannya sangat vital karena tak hanya fokus pada kebutuhan konsumsi korban namun juga para relawan.
Kesan dapur darurat bencana yang selama ini sering dianggap asal-asalan karena sifatnya yang massal dan darurat, nyatanya perlu diberi perhatian lebih, dengan kondisi yang higienis agar tidak memperparah keadaan pengungsi maupun relawan. Jika dapur darurat tidak ditangani dengan baik dengan masakan yang tidak dijaga kebersihannya, pengungsi maupun relawan akan terserang penyakit pencernaan seperti diare hingga dehidrasi dan akan memperparah keadaan. Ditangani oleh tim UNDB dengan anggota para chef hotel dari Indonesian Chef Association atau ICA dan Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia atau PHRI serta relawan lain, meski masakan disiapkan di dapur darurat alakadarnya namun kebersihan terjaga dengan kualitas rasa ala restaurant berbintang yang pastinya enak.
Para relawan yang sebagian besar merupakan chef hotel ternama dengan kostum khas chef membuat hati terketuk dan terbuka untuk juga membantu sebisa dan seikhlasnya bagi para sesama yang membutuhkan, jika para relawan yang lain saja tidak mengeluh dan bersedia membantu, mengapa kami tidak? Pak Agus dan Ibu Putri yang meski merupakan General Manager dan Owner PT PICASSO Global Mandiri tak segan membantu mengupas bawang, memasak, mencuci piring dan hal-hal perdapuran lain bahkan hingga tengah malam tepat pergantian tahun baru dimana mungkin di tempat lain banyak yang merayakannya dengan sukacita.
SITUASI DAN KONDISI DAPUR DARURAT DAN TENDA PENGUNGSI
Bahan makanan disiapkan hingga malam hari untuk keesokan hari agar sarapan tidak kesiangan mengingat para pengungsi tidak sedikit terdiri dari para manula, balita dan anak-anak. Setelah selesai menyiapkan bahan makanan untuk keesokan haripun istirahat tetap tak tenang, sebab letaknya di lereng gunung sehingga sewaktu-waktu jika hujan mengguyur dikhawatirkan lumpur akan terbawa mengenai tenda-tenda yang menjadikan situasi menjadi becek dan licin, takut mengenai bahan makanan, alat masak dsb, sehingga rasa cemas dan was-was pasti ada.
Selain itu, saat turut serta ke tenda-tenda pengungsi untuk mengantar makanan, hati terasa begitu pilu melihat situasi dan kondisi tenda pengungsi seadanya tanpa listrik, dekat pemakaman, banyak nyamuk dan serangga, risiko kebasahan dan becek saat hujan dan lain sebagainya bahkan ada pengungsi yang masih bayi berusia 6 bulan membuat hati terasa seperti disayat sembilu.
Hal ini secara tak langsung membuka mata hati untuk selalu bersyukur dengan kondisi kita saat ini. Seberat apapun kondisi yang dialami harus tetap untuk tetap bersyukur, selagi ada tempat tinggal, pakaian, listrik hingga makanan, mengeluh dan bermalas-malasan merupakan mental yang harus dibakar habis, dikubur dalam-dalam atau dilempar sejauh-jauhnya. Motivasi untuk membantu korban sebisa mungkin dalam memberikan makanan dan focus di dapur umum semakin menggebu meski tak tersorot kamera dan tidak dianggap.
BAGAIMANA MENJADI RELAWAN?
Setelah merasakan langsung bagaimana menjadi relawan sekitar 7 hari, tidur di tenda, menyiapkan bahan makanan di dapur darurat, mengantarkan masakan ke tenda pengungsi hingga berbincang dan bermain dengan anak-anak di tempat evakuasi, Pak Agus dan Ibu Putri memiliki pesan tersendiri bagi siapa saja yang tergerak hatinya untuk menjadi relawan jika berkesempatan suatu hari nanti.
Pertama, akan lebih baik jika ada koordinasi sebelumnya. Sudah mempunyai visi tentang bagian mana yang akan dibantu, apakah itu di dapur umum, menjadi penyalur bantuan atau lain sebagainya.
Kedua, lakukan research bersama tim ke lokasi evakuasi untuk mengetahui bantuan apa yang paling dibutuhkan saat itu agar bantuan tepat sasaran dan tidak justru mubadzir. Sebab tak jarang bantuan yang paling sering dan paling banyak diterima adalah pakaian bekas layak pakai dan mi instan saja, padahal ada banyak jenis bantuan lain yang lebih krusial misalnya popok bayi, selimut, alas tidur, pakaian dalam pria dan wanita, senter, bagaimana MCK nya, kebutuhan obat-obatan dan lain sebagainya.
Ketiga dan yang tak kalah penting, siapkan pastikan keadaan fisik dan kesiapan mental terjaga dengan baik. Sebab menjadi relawan bukanlah hal yang mudah, sebelum membantu orang lain, pastikan kondisi kita dalam keadaan sehat walafiat, jikapun memiliki alergi setidaknya bawa serta obat untuk diri sendiri karena akses menuju apotek terdekat bisa saja tak terjangkau dan tenda kesehatan darurat mungkin tak memiliki obat yang mungkin akan kita butuhkan. Lalu, mental untuk membantu orang lain harus benar-benar dijaga, tentunya kerelaan untuk membantu sesame dengan menyisihkan waktu, tenaga hingga biaya bukanlah hal yang mudah. Risiko lelah tidak bisa dielakkan apalagi dalam hal ini kita tidak dibayar dan justru kitalah yang mengeluarkan uang untuk keperluan selama menjadi relawan, maka dari itu bulatkan tekat agar tidak mengeluh dan ingin menyerah saat di lokasi.
KEADAAN KONDUSIF, SAATNYA KEMBALI PULANG.
Sekitar beberapa hari di lokasi pengungsi bencana tsunami Anyer ini, sebagian pengungsi sudah banyak yang turun dari tenda pengungsi karena kondisi sudah mulai dinyatakan aman, aktivitas gunung Anak Krakatau tidak seagresif sebelumnya. Beberapa relawan juga mulai bersiap meninggalkan lokasi, karena bantuan yang disalurkan juga sudah dirasa cukup.
Pak Agus dan Ibu Putri beserta team yang terdiri dari Chef Deden, Cheff Cook/ Babeh Cook, Chef Ega dan Kang Dadang Nugroho ingin melanjutkan misi relawan ke daerah Sukabumi yang saat itu diberitakan terkena longsor, banjir dengan kondisi puluhan rumah terendam. Dengan perjalanan sekitar 8 jam dengan medan yang begitu ekstrem, kondisi kendaraan yang tidak mendukung istirahat serta keadaan perusahaan yang membutuhkan keberadaan Pak Agus dan Ibu Putri, sempat membuat ingin kembali ke aktivitas sehari-hari. Namun setelah melihat antusiasme relawan lain yang masih tetap semangat menuju lokasi memberi bantuan tenaga dan apapun mereka bisa, bahkan tak hanya kali ini, mereka selalu ada hamper dalam tiap bencana seperti gempa Lombok dan Palu, membuat Pak Agus dan Ibu Putri ikut tersulut untuk meneruskan perjalanan.
Pengalaman menjadi relawan untuk pertama kalinya ini memberi renungan tersendiri bahwa output dalam menjadi muslim sesungguhnya setelah Habluminallah adalah Habluminannas, ibadah-ibadah yang dilakukan selama ini akan terasa tidak ada artinya jika tidak tercermin dalam perbuatan baik kita terhadap sesama, menolong yang membutuhkan, mempraktekkan keikhlasan, menyisihkan sebagian harta, waktu dan tenaga dan lain sebagainya.
Sekitar dua hari di Sukabumi tepatnya di posko relawan, dengan bantuan dari teman-teman Picasso yang sudah diserahkan ke pihak yang bertanggung jawab terhadap bencana, akhirnya Pak Agus dan Ibu Putri kembali ke Jakarta.
Tidak bisa ke lokasi evakuasi pengungsi langsung karena medan yang berat, yang mengharuskan jalan kaki hingga 8 km dengan keadaan berlumpur dan licin sehingga yang diizinkan ke lokasi hanya TNI dan BNPB yang memang sudah terlatih.
Sekembalinya dari kesempatan ini, rasa syukur tertempa hebat. Apapun yang dimiliki saat ini, fisik yang sehat, finansial yang cukup, waktu yang luang, wawasan yang bertambah yang seringkali tidak dirasakan keberadaannya, menjadi lebih terasa dan membuat diri menjadi termotivasi untuk bekerja lebih giat lagi. Perusahaan harus menjadi lebih besar, agar banyak staff yang semakin makmur, agar semakin banyak harta yang bisa disedekahkan hingga keinginan Pak Agus yang dulunya “bisnis jalan agar bos jalan-jalan” tergeser menjadi “bisnis jalan agar bos bisa jadi relawan” karena dirasa lebih bermanfaat dan memberi dampak yang lebih positif bagi diri sendiri maupun orang lain.