Share halaman ini
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Agus masahasiswa perantauan, sudah lama mendambakan Amelia. Gadis berwajah teduh anak ketua takmir masjid dekat kosnya. Kata ustadz andalan Agus, masjid adalah rumah Alloh. Alloh sangat mencintai para pemuda yang hatinya terpaut pada masjid. Nah, satu di antara sekian banyak cara supaya doa cepat terkabul adalah dengan sering-sering ke Masjid.

Malam ini Agus berencana tahajud di Masjid. Jam menunjukan waktu 2 dini hari. Setelah wudlu ia langsung berdiri di shaf pertama, kemudian ia memulai sholat tahajudnya. Hal yang jarang bahkan nyaris tak pernah ia lakukan. Buru-buru shaf pertama di Masjid, sholat wajib aja kadang masih bolong-bolong. Namun semenjak mendambakan Amelia banyak hal mulai berubah.

Tapi entah kenapa ketika tiba di bagian sujud, Agus batal sujud dan tidak melanjutkan sholatnya. Lalu ia pindah, di bagian sisi lain yang masih dilapisi karpet. Namun sama seperti sebelumnya, ketika sampai di bagian sujud, ia batal lagi melanjutkan sholatnya.

Hingga kemudian ia pindah di bagian lantai yang tidak berkarpet, barulah ia bisa sholat tahajud sampai selesai. Setelah sholat, Agus kemudian menengadahkan tangannya sembari berdoa.

“Ya Alloh, jika Amelia memang jodohku maka dekatkanlah ia padaku.

“Tapi jika Amelia bukan jodohku, maka jodohkanlah ia padaku.

“Kalau Amelia sudah ada jodoh selain aku, maka jangan sampai Amelia dapat jodoh selain aku.”

“Dan jika Amelia ternyata adalah jodoh orang lain, maka jadikanlah orang lain itu adalah aku,” ucap Agus mantab.

“Woi, kalau doa-doa aja, ndak usah teriak-teriak sampai bangunin orang tidur,” kata seseorang di dalam masjid agak berteriak kepada Agus, “mana doanya maksa lagi,” lanjut orang itu yang entah siapa.

“Ya, terserah aku toh. Ngapain sendiri nguping doa orang,” jawab Agus agak tinggi nadanya untuk menutupi rasa malunya, doanya ketahuan orang. Ia benar-benar malu doanya yang sangat privasi terdengar orang lain.

Setelah mengucapkan itu, Agus bergegas pulang agak sewot dan malu. Namun malu dan sewot Agus lekas sirna karena cepat tergantikan perasaan tak karuan, sebab nanti sore adalah waktu yang ia tunggu-tunggu. Yakni, mendatangi orang tua Amelia, untuk melamar sang pujaan hati.

Sore telah tiba. Setelah melihat kesesuaian penampilan di cermin, Agus mantab berangkat ke rumah Amelia seorang diri. Ini adalah kunjungannya yang pertama kali di rumah Amelia.  Sengaja ia tak mengajak orang tuanya, karena jika ketolak, orang tuanya tak perlu malu datang dari jauh. Tapi jika keterima, Agus hanya tinggal menghubungi orang tuanya sendiri untuk datang.

“Assalamualaikum,” Agus menguluk salam di depan rumah Amelia.

“Waalaikumsalam,” terdengar jawaban salam dari dalam rumah Amelia.

Mendengar jawaban itu, Agus merasa seperti tak asing suaranya.

Ketika daun pintu rumah Amelia dibuka oleh pemilik suara, jantung Agus semakin berdetak.

“Ya Mas, cari siapa?” Tanya seorang lelaki berumur itu. Wajah lelaki itu nampak agak terkejut dengan kehadiran Agus.

Kini, barulah Agus sadar, bahwa tadi malam yang meneriakinya di masjid adalah orang yang kini ada di depannya. Meskipun Agus tak sempat melihat wajah siapa yang meneriakinya tadi, tapi Agus hafal betul nada suara orang yang meneriakinya tadi.

“Iya Mas cari siapa?”

Agus mendadak bingung. Tak mungkin jika ia harus langsung menyampaikan maksudnya kepada orang tua Amelia, mengingat kejadian tadi malam. Pasti penilaian bapak Amelia itu sedang kurang positif kepadanya. Agus harus cepat mencari ide.

“Saya mau nyumbang karpet dari Picasso, buat masjid kita Pak.”

Entahlah, di antara sekian banyak alasan yang ia pikir paling pas untuk dijadikan bahan pembicaraan adalah karpet dari Picasso untuk masjid. Mengingat tadi malam ketika ia sholat tahajud, karpet di masjid tadi rasanya sangat kurang nyaman. Sampai-sampai ia harus pindah dua kali.

Terlebih bapak Amelia ini adalah ketua takmir Masjidnya. Pastilah beliau akan senang masjidnya dipedulikan banyak orang. Apalagi hadiahnya adalah karpet dari Picasso yang terkenal itu.

 


Share halaman ini
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •