Bulan shofar merupakan bulan kedua pada kalender Hijriyah. Dimana bulan pertamanya adalah bulan Muharram. Sebagian besar kalangan mayarakat meyakini bahwa bulan shafar adalah bulan bala’ atau bulan mushibah. Beberapa masyarakat Indonesia menyebut bulan shafar adalah bulan apes. Bahkan beberapa tak sedikit kalangan masyarakat percaya bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melakukan hal-hal besar, seperti halnya menggelar pesta pernikahan, menyelenggarakan prosesi khitanan, melakukan perjalanan jauh, bahkan yang lebih tidak masuk akal, mereka pun sangat takut melahirkan di bulan Shafar. Hal itu dihindari karena mereka khawatir apabila melakukan hal besar di bulan shafar maka akan turun bala atau musibah pada mereka dan keluarga mereka.
Kepercayaan itu bukan hanya berlaku di masyarakat Indonesia. Hal senada juga dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah. Masyarakat Arab Jahiliyah juga beranggapan bahwa bulan Shafar merupakan bulan ketidak beruntungan. Adapun kepercayaan Masyarakat Arab Jahiliyah mengenai bulan Shafar adalah:
- Masyarakat Arab Jahiliyah percaya jika bulan Shafar adalah bulan ketidak beruntungan (Shahih Bukhari No. 2380)
- Masyarakat Arab Jahiliyah meyakini jika ada peyakit cacing atau ular di dalam perut yang dinamakan shafar dan akan berontak ketika lapar sekaligus membunuh penderitanya yang juga lebih menular dibandingkan penyakit gatal. ( Shahih Muslim:1742)
- Masyarakat Arab Jahiliyah meyakini bahwa pada bulan shafar tahun ini tidak boleh berperang sedangkan tahun berikutnya diperbolehkan. ( Abu Dawud: 3913-3914)
- Masyarakat Arab Jahiliyah meyakini bahwa menjalankan Umrah di bulan Shafar dan Muharram termasuk kejahatan terbesar di dunia. (Bukhari no. 1489)
Dan masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan masyarakat di luar Arab mengenai bulan Shafar.
Sebenarnya mempercayai hari tertentu atau bulan tertentu dapat menjadi penyebab turunnya bala sangat tidak diperbolehkan dalam Islam. Nabi mengistilahkan hal tersebut sebagai “Tattoyur”. Apa itu “tattoyyur”? “tattoyyur” yaitu mempercayai suatu pertanda akan terjadinya sebuah musibah yang akan terjadi. Seperti mitos yang sering beredar bahwa jika mendengar suara gagak ke arah selatan menandakan ada orang melahirkan, jika ada suara gagak ke arah utara menandakan ada kematian, dan jika ada suara ayam jago berkokok di malam hari, menandakan ada seorang gadis yang hamil di luar nikah.
Pada dasarnya musibah dan ketidak beruntungan dapat terjadi kapan saja, bukan hanya terjadi di bulan Shafar. Seperti halnya bulan-bulan lain yang juga bisa terjadi musibah. Semuanya karena takdir dan izin dari Allah. Allah SWT menegaskan, “katakanlah (wahai Muhammad), “sekali-kali tidak akan menimpa kami suatu musibah, melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Nya lah orang-orang beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah:51)
Hal tersebut juga ditegaskan oleh hadits Nabi Muhammad SAW: “Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (tattoyyur), tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar” (HR. Bukhari:5437, Muslim: 2220, Dawud: 3911)
Namun masih ada beberapa ulama sufi yang meyakini bahwa bulan Shafar adalah bulan diturunkannya musibah. Seperti yang jelaskan Imam Ad-Dahlawi dalam karyanya Risalah Tauhid. Dalam kitab tersebut beliau menerangkan bahwa tiga belas hari pertama pada bulan shafar merupakan hari naas yang terdapat banyak bala’. Hal senada juga disampaikan Syeikh Al-Buni dalam kitab Al-Firdaus serta Syeikh Fariduddin dalam kitab Awradu khawajah. Dalam kitab-kitab tersebut diterangkan bahwa Allah akan menurunkan 320 malapetaka atau musibah pada Rabu terakhir bulan shafar. Masyarakat Jawa biasa menyebutnya Rebo Wekasan (Rabu terakhir di bulan shafar).
Di dalam kitab Awradu Khawajah Seikh Fariduddin juga menjelaskan bahwa pada malam Rabu terakhir bulan shafar disunnahkan mengerjakan sholat taubat, sholat hajjad, dan sholat tolak balak. Kemudian membaca doa khusus. Selain itu, terdapat juga keterangan untuk memperbanyak shodaqoh di bulan shafar sebagai cara untuk menolak bala.
Lalu bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut? Tetap bijak dalam menyikapi perbedaan perbedaan pendapat tersebut merupakan sikap yang seharusnya dilakukan. Pertama, tetap yakin pada firman Allah dan hadits Nabi yang menegaskan bahwa bulan Shafar bukanlah bulan Naas. Juga sikap untuk tetap percaya bahwa semua musibah dan bencana datangnya karena kehendak dan izin Allah bukan dikarenakan bulan Shafar atau yang lainnya.
Kedua jika ingin melaksanakan amalan-amalan yang dianjurkan oleh Syeikh Fariduddin dalam kitabnya, hal itu bukanlah menjadi sebuah masalah. Karena amalan yang dianjurkan oleh Syeikh Fariduddin pun bukan amalan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya saja niat kita menegerjakannya yang harus diubah. Jika amalan yang diajarkan beliau adalah untuk menolak bala’ di bulan Shafar, maka tujuan dalam mengerjakan amalan-amalan tersebut harus diluruskan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Memperbanyak shodaqoh pun bukan hanya dilakukan di bulan shafar. Pada bulan-bulan lainnyapun juga disunnahkan memperbanyak shodaqoh. Karena dengan shodaqoh Allah akan melipat gandakan rizki dan menjauhkan dari bala maupun bencana.
Adapun hikmah yang dapat dijadikan pelajaran selama bulan shafar adalah:
- Semakin menambah keimanan kepada Allah
Yakin bahwa bulan shafar adalah sama seperti bulan-bulan lainnya, dimana ada kebaikan dan keburukan didalamnya. Sehingga menjalankan amal ibadah dan aktivitas yang bermanfaat tetap dilakukan sebagaimana mestinya tanpa meributkan bahwa bulan shafar aadalah bulan Naas, sebab segala sesuatu terjadi semata-mata atas izin dan kehendak Allah. Sebagaimana firman-Nya yang artinya; “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus : 107).
- Yakin akan ketetapan Allah SWT
Percaya bahwa apa yang terjadi adalah karena ketetapan Allah. Bahkan daun yang jatuh dari dahan pohon pun terjadi atas izin Allah. Allah SWT berfirman yang artinya; “Katakanlah, ’Sekali-kali tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah : 51).
- Menghindari hal-hal yang bertentangan dengan ketauhidan
Meyakini bahwa bulan Shafar adalah bulan Naas justru menjurus kepada “tattoyyur” atau “Tiyyarah”, hal yang tidak diperbolehkan dalam islam dan bertentangan dengan ketauhidan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya; “Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, sungguh ia telah berbuat kesyirikan. Para sahabat bertanya, ’Bagaimanakah cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu?’ Beliau bersabda; ’Hendaklah engkau mengucapkan (doa), Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau’.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani).
- Semakin bertawakal pada Allah
Dengan meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, maka akan menumbuhkan rasa tawakal kepada Allah. Tawakal adalah perasaan berserah diri kepada Allah dan hanya yakin atas khendak Allah.
- Menambah ketakwaan kepada Allah
Selain menumbuhkan rasa tawakal, hikmah dari bulan shafar adalah membuat ketakwaan kita semakin bertambah. Takwa berarti takut kepada Allah. Tak perlu takut dan percaya pada mitos bulan Shafar sebagai bulan sial.
Sumber:
Al-Qur’anul Karim dan terjemahan
Kitab Irsyadul Ibad, Syaikh Zainudin Bin Abdul Aziz Al-Malibari