Empat tahun silam, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 2015, Presiden ke-7 Indonesia bapak Joko Widodo atau yang lebih akrab dipanggil bapak Jokowi mengeluarkan Keppres No.22 tahun 2015. Keppres tersebut berisi tentang penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Besar Nasional, yang tidak lain adalah “Hari Santri”.
Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri bukanlah tanpa alasan. Ada sejarah besar dibalik tanggal 22 Oktober tersebut. Hari yang mengubah sejarah dan nasib bangsa Indonesia, sehingga kini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan terbebas dari pejajah.
Sejarah Hari Santri Nasional tidak dapat terlepas dari sejarah perjuangan umat Islam, khususnya Para Kyai dan Para santri di Indonesia. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang ditandai dengan dibacakannya teks Proklamasi oleh Ir. Soekarno yang juga merupakan Presiden pertama Republik Indonesia. Perjuangan bangsa Indonesia tidaklah berakhir sampai disitu. Pada tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia memang telah memproklamirkan kemerdekaannya.
Namun bangsa-bangsa lain di dunia masih menganggap bahwa Indonesia masih negara jajahan Jepang. Karena untuk menjadi negara yang merdeka, tidak cukup hanya dengan membacakan Proklamasi saja. Akan tetapi perlu pengakuan dari Negara lain atau yang disebut dengan istilah De Jure.
Dikarenakan belum adanya pengakuan tersebut, maka di mata negara lain Indonesia masih dianggap sebagai wilayah jajahan Jepang. Sedangkan negara Jepang sendiri telah kalah dari negara Sekutu pada perang dunia ke II, yang ditandai dengan dijatuhkannya Bom di Kota Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.
Kekalahan Jepang pada perang dunia ke-2 tersebut menjadi jalan pembuka bagi negara sekutu yaitu Britania Raya dan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Mengetahui hal tersebut, masyarakat Indonesia menolak kedatangan Britania Raya dan Belanda. Tak terkecuali umat Islam, terutama para kyai dan para santri.
Pada tanggal 21-22 Oktober 1945, beberapa kyai dan ulama’ pendiri organisasi NU (Nahdhatul Ulama) berkumpul di Surabaya tepatnya di kantor PB ANO (Ansor Nahdhatul Oelama) Jln. Bubutan VI/2 Surabaya, untuk membahas kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia. Tepat pada tanggal 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari yang tidak lain adalah pendiri Nahdhatul Ulama’ mengeluarkan sebuah fatwa yang juga dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”. Dalam buku berjudul Fajar Kembangunan Ulama yang ditulis oleh Drs. Lathiful Khuluq, Resolusi Jihad yang diucapkan K.H. Hasyim Asyari tersebut berisi 5 butir. Berikut bunyi dari 5 butir Resolusi Jihad tersebut:
- Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik Indonesia adalah satu-satunya pemerintahan yang sah dan harus dijaga serta dibela.
- Musuh Republik Indonesia adalah Belanda, yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu Inggris dan pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
- Umat Islam terutama Anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin kembali menjajah Indonesia.
- Bagi umat muslim yang berada pada radius 94 km dari Surabaya hukumnya Fardhu Ain atau wajib ikut berperang melawan penjajah. Sedangkan yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu berupa material kepada mereka yang ikut berperang.
Resolusi Jihad yang diucapkan oleh K.H Hasyim Asyari tersebut sontak membakar semangat masyarakat Indonesia. Kewajiban berperang yang awalnya ditetapkan bagi umat islam yang tinggal dalam radius 94 km dari kota Surabaya tidak lagi berlaku, karena umat Islam dari seluruh penjuru Indonesia dengan kesadaran diri turut berperang secara sukarela melawan tentara sekutu di Surabaya.
Bahkan golongan dari non-muslim pun turut bersatu melawan penjajah setelah mendengar “Resolusi Jihad” tersebut. Keinginan untuk mempertahankan kemerdekaan setelah 350 tahun dijajah Belanda, ditambah 2 tahun dijajah Jepang, membuat masyarakat Indonesia rela mempertaruhkan jiwa dan raga untuk berjuang, demi tidak lagi dijajah oleh bangsa asing.
Tiga hari setelah dikumandangkannya “Resolusi Jihad”, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara Inggris telah tiba di dermaga Surabaya. Umat islam yang telah terbakar semangatnya setelah dikumandangkannya Resolusi Jihad telah siap berangkat ke Surabaya guna mengemban tugas suci yaitu berjihad melawan tentara Inggris dan Belanda.
Barisan umat Islam dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama yaitu diikuti oleh para santri dan pemuda yang bergabung dalam barisan Hisbullah dibawah pimpinan H. Zainul Arifin. Sedangkan para Kyai dan Ulama’ bergabung dalam barisan Mujahiddin yang dipimpin oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Pada tanggal 26 Oktober 1945, pihak tentara sekutu yang diwakili oleh A.W.S Mallaby mengadakan perudingan dengan pihak Indonesia yang diwakili oleh Gubernur Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, dan Walikota Radjamin Nasution. Perundingan tersebut berisi bahwa kedatangan tentara Sekutu ke Indonesia adalah dengan tujuan mengevakuasi tentara Jepang dan melucuti senjata tentara Jepang yang masih berada di Indonesia.
Tentara sekutu juga meminta izin untuk menggunakan beberapa bangunan di Surabaya sebagai markas sementara. Pihak pemerintah Indonesia pun menyetujui perundingan tersebut. Namun izin menggunakan gedung-gedung tersebut digunakan secara curang oleh tentara sekutu. Gedung-gedung yang awalnya digunakan sebagai markas sementara, justru digunakan sebagai pos-pos pertahanan dan benteng yang dilengkapi senjata api dan senapan mesin.
Mendapati tindakan tentara sekutu yang membangun pos-pos pertahanan. Tanpa ada komando sebelumya, Arek-arek suroboyo beserta para Santri tua maupun muda yang telah terbakar semangatnya oleh Resolusi Jihad, beramai-ramai menyerbu pos sekutu di Benteng Miring yang ada di sebelah utara Sekolah Al-Irsyad Ampel. Mendapati pos pertahannya telah diserbu oleh ribuan santri dan pemuda, Tentara sekutu langsung menembakkan peluru-peluru ke arah para Santri. Banyak sekali santri dan pemuda yang gugur pada penyerangan tersebut.
Akan tetapi ribuan santri dan arek-arek Suruboyo tersebut seolah tidak ada habisnya. Dengan mengucapkan kalimat takbir, “Allahu Akbar Allahu Akbar”. Ribuan atau bahkan jutaan rakyat Indonesia yang didominasi para santri dan arek-arek Suroboyo terus saja berdatangan menyerbu pos pertahanan Sekutu. Tentara sekutu sampai kualahan menghadapi jutaan orang yang menyerbu tanpa henti.
Selama 4 hari, Kota Surabaya bergetar karena semangat para Santri dan Arek-arek Suroboyo yang berkobar. Bumi Surabaya berguncang karena kalimat takbir yang terus dikumandangkan selama penyerbuan terhadap tentara Sekutu tesebut. Akhirnya pada tanggal 30 Oktober 1945, Jenderal yang juga sekaligus ketua tentara sekutu A.W.S. mallaby tewas di tangan salah satu santri. Dengan tewasnya A.W.S Mallaby pastinya membuat tentara Sekutu melemah karena sudah tidak ada lagi jenderal yang menjadi pemimpin mereka.
Sementara ditinjau dari kronologi sejarah, pertempuran Surabaya yang terjadi pada tanggal 10 November 1945 merupakan tindak lanjut dari perang rakyat yang terjadi 4 hari yaitu pada tanggal 26, 27, 28, dan 29 Oktober 1945. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa semangat para pemuda terutama umat Islam dan para santri tersebut tidak lepas dari dikumandangkannya Resolusi Jihad oleh K.H. Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober 1945.
Pantaslah jika presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Besar Nasional, dan hingga sekarang ini, setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Sebuah bentuk apresiasi kepada umat Islam, khususnya Para Santri dan Para Kyai atas jasa mereka berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sumber:
Buku: Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asyari
No ISBN : : 978-979-8966-37-8
https://www.nu.or.id/post/read/72250/resolusi-jihad-nu-dan-perang-empat-hari-di-surabaya-
BACA JUGA