Perjuangan Sunan Kudus
Sejarah masjid menara Kudus tidak dapat terlepas dari perjuangan Sunan Kudus, yang merupakan penggagas berdirinya masjid ini. Sunan Kudus atau yang memiliki nama asli Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan. Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh walisongo yang meyebarkan agama Islam di wilayah Kudus Jawa Tengah. Beliau adalah putra dari Sunan Ngudung dan merupakan cucu dari Sultan Palestina yang bernama Sayyid Fadha Ali Murtazha atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Santri. Sunan Kudus lahir pada tanggal 9 September 1500 masehi/808 H di Al-Quds Palestina.
Baru pada tahun 1513 Masehi, Sunan Kudus beserta ayahnya, Sunan Ngundung dan kakeknya, Raden Santri behijrah ke Nusantara untuk menyebarkan ajaran Agama Islam. Sesampainya di Indonesia, mereka langsung menuju Kerajaan Demak Bintaro. Disana Sunan Ngundung (ayah Sunan Kudus) diangkat menjadi panglima perang. Sementara kakek Sunan Kudus, Raden Santri menuju kerajaan Majapahit dan menjadi Panglima perang disana.
Setelah dewasa, Sunan Kudus meninggalkan Demak menuju Kudus. Dahulu kota Kudus masih bernama Tajung. Disana ia bertemu dengan Kyai Telingsing, seorang kyai yang lebih dulu menyebarkan agama Islam di Tajung. Telingsing sendiri adalah panggilan sederhana dari The Ling Sing, seorang Tokoh muslim Asal Tiongkok yang datang ke Indonesia bersama Laksamana Cheng Ho.
Selama berada di Tajung, Sunan Kudus mengemban ilmu dan memperdalam agama Islam bersama Kyai Telingsing. Setelah bertahun-tahun mengemban ilmu bersama kyai Telingsing, Kyai Telingsing mengutus Sunan Kudus untuk menyebarkan Agama Islam di desa Tajung. Kemudian Desa Tajung pun berubah nama menjadi Kudus. Diambil dari nama Sunan Kudus sendiri.
Setelah bertahun-tahun menyebarkan agama Islam di Kudus. Tepat pada tahun 1549 masehi/956 Hijriah, atas dukungan dan bantuan tokoh-tokoh walisongo lainnya, Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang tidak lain adalah Masjid Menara Kudus. Masjid Menara Kudus sendiri berlokasi di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Ada keunikan dari masjid ini, yaitu terdapatnya sebuah menara yang berbentuk menyerupai candi Hindu, serta arsitektur yang memadukan konsep budaya Islam dengan budaya Hindu-Budha. Hal itu membuktikan bahwa sunan Kudus memang menggunakan akulturasi budaya sebagai metode berdakwah nya.
Makna Filosofis Bangunan Masjid Menara Kudus
Saat awal dibangun, Masjid Menara Kudus memiliki luas kurang lebih 570 meter persegi. Luas masjid dibuat berukuran demikian bukannya tanpa alasan. 570 adalah tahun kelahiran Nabi Muhammad yanitu 570 masehi. Masjid Menara Kudus memiliki 5 buah pintu di sebelah kanan dan 5 pintu disebelah kiri. Lima pintu sebelah kanan mengandung filosofi Rukun islam, sedangkan lima pintu sebelah kiri mengandung filosofi 5 waktu sholat Fardhu. Jendelanya semuanya berjumlah 4 buah yang berarti 4 Sahabat Nabi yang juga merupakan khulafa’ur rasyidin. Mereka adala sahabat Abu Bakar as-siddiq, sahabat umar bin Khatab, Shabat Usman bin Affan, dan Shabat Ali bin Abi Thalib.
Pintu besar terdiri dari 5 buah dan tiang besar berjumlah 8 buah. Di dalam masjid terdapat 2 bendera yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib. Di dalam masjid ini juga terdapat sebuah kolam atau padasan yang dijadikan sebagai tempat wudhu. Tepat di serambi depan masjid terdapat dua gapura yang disebut lawang kembar. Sedangkan di komplek masjid terdapat 8 buah pancuran yang dibuat oleh Sunan Kudus. Diatas tiap-tiap pancuran terdapat sebuah arca kepala kerbau yang diadaptasi dari keyakinan Agama Budha. Pncuran-pancuran ini diberi nama “Asta Sanghika Marga” yang berarti 8 jalan kebenaran.
Akulturasi Budaya Sebagai Metode Dakwah
Selain bagian-bagian tersebut, di samping masjid juga terdapat sebuah menara yang mirip candi Hindu. Menara Kudus sendiri memiliki tinggi 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10×10 meter. Di sekeliling bangunan dihiasi dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah diantaranya berwarna biru dan berlukiskan masjid, manusia, unta dan pohon kurma. Sedangkan 12 yang lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang.
Lukisan manusia, masjid, unta, dan pohon kurma melambangkan kebudayaan islam yang lahir dari Negara Arab. Sedangkan lukisan kembang dan piring berwarna merah putih melambangkan kebudayaan Indonesia khususnya Jawa. Kedua kebudayaan tersebut kemudian diakulturasi menjadi Islam Nusantara.
Dulunya masjid menara kudus ini bukan hanya tempat beribadah bagi umat Islam. Akan tetapi juga menjadi tempat dimana pusat penyebaran agama Islam di Kudus dilakukan. Beberapa contoh dijadikannya masjid ini sebagai pusat penyebaran Islam adalah ketika Sunan Kudus berdakwa kepada pemeluk agama Budha. Pada waktu itu Pendekatan yang beliau terapkan kepada umat Budha adalah dengan membuat tempat wudhu berbentuk pancuran sebanyak delapan titik.
Setiap titik pancuran tersebut diberi Arca Kebo Gumarang, salah satu arca yang disucikan oleh umat Budha. Masyarakat pemeluk agama Budha yang mengetahui keberadaan Arca tersebut akhirnya tertarik untuk masuk ke area masjid Menara Kudus dan mendengarkan ceramah Sunan Kudus. Masyarakat Budha yang awalnya tertarik dengan keberadaan arca di tempat wudhu masjid Kudus, akhirnya mereka pun tertarik untuk masuk Islam.
Beberapa contoh lain mengenai metode penyebaran Agama islam yang dilakukan sunan Kudus adalah ketika berdakwah pada masyarakat hindu. Di dalam ajaran Hindu sapi merupakan hewan yang dikeramatkan, karena dianggap titisan dewa. Pada waktu itu pendekatan yang dilakukan Sunan Kudus adalah dengan melarang umat Islam di Kudus menyembelih dan memakan daging sapi. Hal itu bertujuan untuk menghormati kepercayaan umat Hindu.
Umat Hindu yang mengetahui bahwa ajaran Islam disebarkan dengan damai dan toleransi akhirnya mulai tertarik untuk mempelajari agama Islam. Akhirnya banyak masyarakat Hindu yang mulai berbondong-bondong masuk Islam. Hal lain yang menjadi penyebab masyarakat Hindu tertarik dengan agama Islam adalah tidak adanya sistem kasta dalam ajaran Islam. Sebaliknya di dalam Islam mengajarkan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama, yang membedakannya di hadapan Allah hanyalah ketaqwaannya.
Setelah berhasil mengislamkan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Akhirnya Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 masehi. Beliau wafat pada saat menjadi imam sholat subuh di Masjid Menara Sujud. Beliau pun wafat dalam posisi sedang sujud. Meskipun beliau telah wafat namun nama beliau tetap dikenang oleh masyarakat Kudus dan umat islam di Indonsia.
Sejarah tentang Sunan Kudus dan masjidnya mengajarkan pada kita bahwa Islam di nusantara disebarkan dengan cara damai dan toleransi. Kebesaran hati Sunan Kudus untuk menerima dan mengakulturasi budaya Hindu-Budha dengan agama Islam telah berhasil mengambill hati Masyarakat pribumi sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam.
Beliau membuat Arca di kompleks Masjid Menara Kudus, bukan karena beliau ingin merusak ajaran Islam ataupun menyekutukan Allah. Akan tetapi hal itu dilakukan dengan niat menarik perhatian umat Budha agar mau mendengarkan ceramah beliau. Beliau hanya berpegang pada Hadits Nabi, “innamal a’malu bi niyat” yang artinya “segala sesuatu tergantung pada niatnya”. Bayangkan jika dulu sunan Kudus dan tokoh walisongo lainnya tidak menggunakan pendekatan akulturasi dan toleransi.
Sudah dipastikan masyarakat Indonesia yang merupakan penganut Hindu-Budha yang taat, pastinya tidak akan mau memeluk agama Islam. Dan pastinya sekarang ini agama Islam tidaklah menjadi agama terbesar di Indonesia khususnya pulau Jawa.
Waallahu a’lam bishowab.
BACA JUGA